MENULIS BAHASA JAWA (dengan hurup Latin) YANG BENAR

  kaemot uga ing https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2897951443817307&id=1684548218490975

Oleh Hargo Pramudya pada Selasa, 17 Juli 2012 pukul 22.12

Menulis bahasa Jawa dengan hurup Latin.

“Bojoku loro”…….

Hah…. !? Sampeyan rabi maneh  ya ?....


“Anakku untune sing  loro“

Hah..? anakmu rak wis gedhe-gedhe to..? kok untune lagi loro…?


Menulis bahasa Jawa, mungkin tidak diajarkan di sekolah ya…? Sehingga sering kali terjadi cara menulis bahasa/kata-kata Jawa dengan tidak pas, termasuk teks-teks yang ada dalam CD-VCD lagu-lagu Jawa, SMS, Koment di FB seperti contoh di atas dsb…. Bahkan termasuk kesalahan dilakukan oleh orang Jawa yang berlatar belakang pendidikan lumayan….. (maaf…).. untungnya skripsi tidak ditulis dengan bahasa Jawa…. He..he..

Kesalahan paling menonjol dan mengganggu utk yang biasa dan tahu menulis dan membaca bahasa Jawa, yaitu pada penggunaan huruf vokal atau huruf hidup : a-i-u-e-o


Contoh lain: 

Ada yg menulis “Mator nuwon”  seharusnya “matur nuwun”

“Sikelku loro keno eri” (maksudnya “kakiku sakit kena duri”) sharusnya ditulis “Sikilku lara kena eri.”


Lalu bagaimana patokannya….?


Bahwa paling tidak ada dua cara membaca vokal  Jawa: “jejeg” dan “miring” , ada  3 sbb:


Huruf  A 

A jejeg   dibaca seperti a pada kata “draw” dibaca/diucapkan seperti “o” pada kata “kotor” maka kata “sakit” dalam bahasa Jawa ditulis “ lara”, pakai A jejeg, bukan “loro” karena kalau ditulis begitu artinya menjadi “dua” (angka 2), “iya” bukan iyo, “jarwa” bukan jarwo, “isa” bukan iso, neng “Jawa “ bukan neng Jowo, sega bukan sego, swarga, rumangsa dst


“Hargo”,… nama saya.. sebagai kosa kata Jawa seharusnya ditulis “Harga” (pakai “a”),.. tetapi karena di Akte kelahiran dan dokumen penting lain (ijzah dsb) sudah terlanjur di tulis dengan “o”, apa boleh buat,.. selanjutnya tetap dengan “o”….

Mungkin begitu juga dengan nama “ Ribut Sudjarwo”,  seharusnya  Ribut Sudjarwa,  dll

A miring,  dibaca a seperti kata “art”, sperti membaca a pada umumnya dalam bahasa Indonesia: “pasar, cacar, sabar” dst.


Bagaimana membedakan  antar “A jejeg” dengan “O miring” ?

Simbah saya pernah memberi  pathokan sederhana, katanya: “Coba kamu tambahi kata itu dengan imbuhan/akhiran “ne”atau “e” (“nya” dlm bhs Indonesia..), kalau  berubah suaranya menjad “A miring”, berarti harus ditulis dengan huruf A.”

Contoh:  

ü  sego (seharusnya “sega”) bila ditambah akhiran “ne” akan berbunyi “segane”, misalnya : “ Iki segane sapa…?”,  Nah berarti “sego” seharusnya ditulis dengan “sega”,

ü  “rumongso” kalau ditambah “ne”, menjadi “rumangsane”, maka “rumongso” yang benar ditulis “rumangsa” pakai huruh a, membacanya tetap “rumongso”

ü  “lodhong” (toples) bila ditambah dengan akhiran “e” tetap berbunyi  o = lodhonge… berarti memang benar ditulis dengan “o” = lodhong…

Jadi kalau suara/vocal “o” berubah jadi “a”, berarti menulisnya memang harus pakai huruf “a”, meskipun suaranya “O”….  gampang to..?

ü  “golong” kalau ditambah”ne” akan menjadi “golongane”, maka “golong” benar ditulis dengan “o”… 

ü  Cobalah dengan kata “bolong”……., “barong”, ….. dst


Huruf I

I  jejeg    I pada  kata “pipi”  à pipi, sisi, pari, ali-ali dst

I  miring, seperti pada kata “bermain”, “Sukimin”,  maka penulisan yang benar mestinya : sikil bukan sikel, Sukimin bukan Sukimen  dst.


Huruf U

U  jejeg   U pada kata  “dulu”  à suku, alu, asu, turu, ibu

U  Miring   U pada  kata “subuh” , membacanya seperti “O” seperti pada kata “jago”  . Bahasa jawa : “tumut”  bukan tumot, “sesuk”, bukan sesok , “ngawur” bukan ngawor, kalau ngawor artinya sudah lain lagi, yaitu menjadi satu tempat/campur dari kata ”awor”


Huruf  E ( nah huruf vocal e ada 3 jenis nih…)

E  Pepet   e pada  kata “dekat” à pelem, cangkem, gurem, seneng , dst

E  Jejeg   e pada kata “enak”  à sate, piye/kepriye, kere, sae, sare, dst

E  Miring  e pada kata “end”   à yen, ben, biyen, sareh, sindhen, dst


Huruf O

O  jejeg   o pada kata “roda”  à coro, loro (angka 2), jero

O Miring  o pada kata “bodoh”  à golong, borong,   “loro” bukan utk menulis “lara” dalam arti sakit.


Tentu masih banyak paugeran/patokan lain,  namun yang paling menonjol dan keliru adalah ttg aturan tsb di atas.


Semoga bermanfaat.

dening :

Ag. Hargo Pramudya

Bukan Ahli Bahasa Jawa, hanya belajar dirumah dari simbah dan bapa-ibu.


Nuwun sewu bp Ag. Hargo Pramudya nderek nyebaraken kawruh ingkang sae punika, 

matur nuwun eNPe 🙇‍♂️

sumber asli diambil dari : https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=109352274033810&id=109187397383631

Komentar

  1. Satu hal yg agak susah dipraktekkan di jaman sekarang...

    Orang sdh terlanjur salah kaprah, sehingga dari asal kata dhadha (ditulisnya "dhodho") ketika ditambah panambang/akhiran ne, ku, ipun bukan menjadi benar tulusannya(dhadhane/dhadhaku/dhadhanipun), tetapi tetap saja salah menjadi dhodhoku/dhodhone/dhodho ipun.

    Yg demikian sekarang banyak bisa kita lihat/dengar di video/mp3 lagu-lagu campursari atau lagu Jawa.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Estu mrihatosaken.
      Matur nuwun panyaruwenipun bapa Ogun7ruh👏

      Hapus
  2. Nice post ! Thanks for sharing and greetings from walisongo.ac.id

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGAJENG-AJENGING MASARAKAT WONG CILIK

🎶 ISIH DUWE WÊKTU 🎶 𝕰𝖇𝖎𝖊𝖙 𝕲. 𝕬𝖉𝖊

KEDUWUNG TANSAH KASUMURUPAN SAWUSÉ KADADEAN